Meival Reza Blog

Flash Player

Sabtu, 31 Juli 2010

Hati-Hati Penggunaan Alat Medis bagi Anak

 
 
ALAT-ALAT kesehatan yang digunakan sebagai penyembuh berbagai penyakit ternyata juga mengancam kesehatan, terutama anak-anak.

Kebanyakan alat tersebut menyebabkan cedera dan komplikasi yang cukup parah. Peralatan medis sejatinya membantu seseorang untuk menyembuhkan ataupun meringankan gejala penyakit yang dideritanya. Apalagi di tengah perkembangan dunia kedokteran yang makin modern dewasa ini, alat-alat yang diciptakan pun bertambah canggih.

Namun, perangkat kesehatan juga menyimpan bahaya, terutama bagi anak-anak. Sebuah penelitian terbaru mencatat, lebih dari 70.000 anak-anak dan remaja di Amerika Serikat dilarikan ke ruang gawat darurat rumah sakit setiap tahun akibat cedera dan komplikasi akibat peralatan medis.

”Cedera akibat perangkat medis biasanya hanya terjadi pada sejumlah kategori alat,” kata pemimpin studi Dr Cunlin Wang, seorang ahli epidemiologi di Bagian Pengawasan dan Biometrik pada Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (US Food and Drug Administration/FDA).

”Sekitar 70 persen di antaranya berasal dari alat yang berhubungan dengan mata, peralatan di rumah sakit umum, dan perangkat terkait masalah kandungan dan kebidanan,” tambahnya seperti dikutip laman healthday.com. Laporan ini diterbitkan dalam edisi Agustus jurnal Pediatrics.

Alat kedokteran mata di antaranya lensa kontak, kacamata, dan perangkat perlindungan mata lainnya. Peralatan di rumah sakit umum meliputi pompa infus, kateter, dan bahkan tempat tidur rumah sakit. Sementara itu, peralatan yang berhubungan dengan kandungan dan kebidanan, termasuk alat kontrasepsi dan cedera dari benda-benda saat merangsang alat kelamin.

Wang mencatat tingginya angka infeksi atau masalah akibat penggunaan peralatan medis pada anak-anak, karena sebagian peralatan itu dirancang bagi orang dewasa, tetapi kerap diterapkan juga pada anak-anak. Para peneliti mendapatkan data tersebut berdasarkan informasi dari database nasional yang fokus terhadap jumlah anak-anak yang dirawat di bagian gawat darurat rumah sakit, untuk cedera yang berhubungan dengan perangkat medis sejak awal 2004–akhir 2005.

Laporan tim peneliti selama periode dua tahun tersebut menyebutkan ada 144.799 kunjungan anak cedera akibat alat medis secara nasional, yang meliputi 13 spesialisasi perangkat medis. Mayoritas kecelakaan mereka berasal dari penggunaan lensa kontak (23 persen), terutama terjadinya infeksi dan abrasi mata pada para pengguna. Masalah ini kadang bisa dicegah dan terjadinya sering kali akibat pemakaian yang terlalu lama tanpa dilakukan perawatan pada lensa kontak.

Masalah utama lainnya yaitu dengan jarum suntik (8 persen). Cederanya meliputi luka akibat jarum hipodermis yang patah di dalam kulit saat dokter atau perawat menyuntikkan obat, atau karena pemakaian obat terlarang.

Masalah paling serius lainnya adalah pemakaian peralatan medis yang ditanam dalam tubuh, seperti alat untuk mengeluarkan cairan dari otak pada anak-anak penderita hidrocefalus, kateter di dada bagi pasien kanker yang menjalani kemoterapi di rumah, dan pompa insulin bagi pasien diabetes. Infeksi dan overdosis merupakan masalah yang terkait dengan berbagai peralatan medis ini. Hanya 6 persen pasien secara keseluruhan yang harus dirawat di rumah sakit.

Jenis keluhan yang paling umum diderita misalnya mulai luka-luka, memar, lecet, masuknya benda asing ke tubuh, tusukan, hingga infeksi. Kejadian cedera sering kali menimpa bola mata, daerah kemaluan, jari, wajah, dan telinga. Secara keseluruhan, para peneliti merumuskan, lensa kontak menjadi alat yang paling banyak menyebabkan masalah pada anak-anak.

Sementara di antara remaja, kejadian celaka umumnya berasal dari shunts (alat medis yang ditanamkan di badan untuk membiarkan cairan mengalir dalam tubuh), tabung intravena dan tabung jenis lainnya yang dimasukkan di perut. Biasanya pada masa anak-anak, kecelakaan alat medis bisa jadi membuat dia stres dan kepercayaan diri menurun. Namun, mereka bisa bangkit kembali setelah usia 10 tahun.

Peneliti juga menyimpulkan, untuk anak usia 10 tahun atau di bawahnya, anak laki-laki lebih mungkin terluka dibandingkan anak perempuan. Sedangkan pada remaja usia 16–21 tahun, kemungkinan cedera lebih besar terjadi pada anak perempuan.
Para ahli dari FDA itu bekerja untuk menentukan bagaimana dan mengapa cedera itu terjadi, selain juga mengamati prevalensi pada orang dewasa. Hasil penelitian ini kemungkinan akan ditindaklanjuti FDA dengan mengeluarkan peringatan tentang kemungkinan bahaya dari pemakaian peralatan medis.

”Kajian ini merupakan analisis penting untuk memperkirakan berapa jumlah pasien cedera akibat perangkat kesehatan pada populasi anak,” kata Wang, seraya menyebutkan sebelum studi ini belum ada yang melansir data tersebut. Dia menganjurkan para tenaga medis agar memusatkan perhatian terhadap keamanan alat-alat kedokteran yang berpotensi menimbulkan cedera, sebagai upaya mengurangi dampak negatif pada anak-anak. ”Perlunya upaya pencegahan yang lebih intensif untuk mengurangi lebih banyak korban dan bahayanya efek samping yang ditimbulkan perangkat medis,” saran Wang.

Dr Steven Krug dari Chicago’s Children’s Memorial Hospital, Amerika Serikat menambahkan, studi ini juga menyoroti masalah yang kerap terjadi dari pemakaian peralatan medis pada anak-anak yang dilakukan di rumah. Perawatan yang dilakukan di rumah merupakan tantangan bagi banyak keluarga; karena sebagai orang awam, pasti mereka belum terlalu terampil dalam menggunakan berbagai peralatan canggih, meski sebelumnya sudah dilakukan pelatihan.
 
(okezone.com)

Anak Tak Suka Buah, Sayur, & Susu? Ini Solusinya!



APA yang dapat Anda lakukan ketika si kecil menolak makanan yang sangat ia dibutuhkan? Sebagian besar Anda mungkin menjawab terus mencoba memperkenalkannya. Tapi jika hanya teknik ini yang dijalani, hasilnya tidak selalu efektif.

Belum lama, Dietary Guidelines Advisory Committee-sekelompok ilmuwan independen yang menyarankan pemerintah pada konsumsi ideal rakyat Amerika—mengidentifikasi bahwa baik anak-anak maupun orang dewasa perlu mendapatkan lebih banyak kalsium, vitamin D, kalium, dan serat. Anda bisa mendapatkan nutrisi tersebut dalam susu, buah-buahan, sayuran, dan biji-bijian—sederet makanan yang biasanya dijauhi anak-anak.

Berikut solusi untuk membantu si kecil yang pemilih makanan (picky eaters) untuk mendapatkan makanan dan nutrisi yang mereka butuhkan, seperti dikutip Eating Well.

Tidak suka buah

Solusinya, olah buah-buahan dalam dalam milkshake. Sebagian besar buah-buahan memberikan jumlah kalium dan vitamin C yang cukup sedangkan smoothie berbahan buah merupakan cara yang pas untuk menyembunyikan buah dalam penyajiannya.

Kebanyakan anak-anak merasa tertarik untuk menyedot minuman dengan sedotan. Smoothie dari toko sering dimuat dengan banyak tambahan gula, sehingga untuk menu yang lebih sehat, buatlah sendiri di rumah.

Anak tidak suka makan brokoli (dan sayuran lainnya)

Solusinya, siram dengan saus keju. Menambahkan keju di atas sayuran, seperti brokoli, kembang kol, atau kubis membantu “menjinakkan” rasa yang membuat anak malas memakannya. Memang, keju umumnya mengandung lebih banyak kalori dan lemak jenuh daripada produk susu rendah lemak, tapi keju juga memberikan sedikit kalsium.

Kuncinya adalah dengan menambahkan keju hanya cukup untuk membuat rasa sayuran enak, tidak menghilangkan kalori dan lemak sayuran.

Anak tidak suka minum susu

Solusinya, tambahkan cokelat. Nyatanya, susu cokelat lebih disukai anak-anak ketimbang susu vanilla. Kalau Anda memaksakan susu full cream hingga akhirnya ia minum susu, anak akan kehilangan nutrisi penting yang telah disediakan oleh susu.

Dengan atau tanpa rasa, susu memberikan kalsium (1 cangkir menyediakan sepertiga dari kebutuhan sehari-hari), vitamin D, riboflavin, niasin, fosfor, dan protein. Cokelat susu memang mengandung gula tambahan, tapi tampaknya minuman susu dengan rasa tidak berarti Anda tidak bisa menambahkan gula diet untuk anak-anak. Sebab menurut penelitian yang diterbitkan dalam Journal of American Dietetic Association, anak yang minum susu dengan rasa memiliki asupan kalsium yang lebih tinggi daripada anak-anak yang tidak minum susu tanpa rasa, tapi keseluruhan asupan gula tambahan mereka adalah sama.
(ftr)
( okezone.com)

Senin, 05 Juli 2010

5 Alasan Anak-anak berbohong

 

Anak-anak tidak berbohong dengan kebohongan orang dewasa. Apa alasan anak berbohong, inilah alasannya:


1. Takut disalahkanAnak-anak bisa berbohong karena ia memiliki pengalaman buruk menghadapi kesalahan. Jika anak pernah terpojok dan merasa "dihukum" sebagai bersalah, anak akan memilih opsi untuk berbohong untuk menghindari hukuman, tanggung jawab, atau takut disalahkan.


2. Tampak Lebih PowerfullAlasan lain ketika anak itu berbohong, ia ingin terlihat lebih baik daripada nyata dan ini terjadi pada anak-anak yang sering dibandingkan dengan anak lain.
Merasa kurang percaya diri untuk membuat anak bereaksi terhadap dicitrakan dirinya lebih daripada sekarang. Terutama ketika dia berada dalam lingkungan sebaya (kelompok sosial) yang hebat.
3. Merasa Tidak Memiliki PilihanDalam perawatan anak kelompok kontrol terlalu kuat atau otoriter orang tua, anak-anak selalu berpikir kesalahan adalah sesuatu yang dimaafkan. Ketika membuat kesalahan, anak itu selalu dibayangi kekhawatiran risiko lanjut kesalahan.
4. Jangan Ingin KesalBila orangtua selalu menanamkan harapan yang tinggi, anak bisa berbohong ketika bereaksi terhadap masalah hanya karena orangtuanya tidak ingin kecewa.
5. Yg tak dihargaiPrinsip orang tua yang hanya peduli pada hasil dan tidak mempertimbangkan proses untuk membuat anak itu berbohong ketika dia merasa dia tidak mendapatkan pahala cukup.
Powered By Blogger